Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Serangan Pandemi Covid 19 Menguji daya tahan ekonomi RI


Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah menetapkan novel coronavirus (Covid-19) sebagai pandemi global sejak minggu kedua Maret silam. Dasarnya, persebaran virus sangat cepat menjauhi pusat wabah awal yakni Wuhan, China.

Berdasarkan data Worldometers, jumlah korban virus corona telah mencapai 936.958 orang yang tersebar di 204 negara di seluruh dunia per Kamis (2/4) pukul 07.04 GMT (14.04 WIB). Dari jumlah tersebut, sebanyak 47.264 orang tewas dan 194.666 orang dinyatakan sembuh.

Penyebaran Covid-19 dipastikan memukul pertumbuhan ekonomi global. Pukulan telak Covid-19 ini membuat berbagai lembaga merevisi pertumbuhan ekonomi global tahun 2021.

JP Morgan memproyeksi pertumbuhan ekonomi global minus 1,1%. "Dunia menghadapi dua isu, yakni krisis kesehatan dan ekonomi yang mendorong ekonomi global jatuh ke jurang resesi yang dalam.

Kemudian, The Economist Intelligence Unit memprediksi laju ekonomi global minus 2,2%. "Gambaran ekonomi global terlihat suram dengan resesi yang hampir terjadi di semua negara berkembang di seluruh dunia

Sementara, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi global akan tumbuh negatif. "Sudah jelas kita sekarang telah memasuki resesi seperti atau bahkan lebih buruk dibanding tahun 2009.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui Indonesia tak bisa lepas dari pelemahan ekonomi global dan negara-negara lain akibat serangan Covid-19. Dia mengungkapkan, pemerintah memiliki tiga skenario perekonomian Indonesia 2020 dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Pertama, asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 5,3% dengan asumsi harga minyak dunia US$62/barrel, nilai tukar rupiah Rp14.400 per dolar AS, dan inflasi 3,1%.

Kedua, skenario ekonomi berat dengan proyeksi pertumbuhan 2,3%, harga minyak dunia US$38/barrel, nilai tukar rupiah Rp17.500 per dolar AS, dan inflasi 3,9%. Ketiga, skenario ekonomi sangat berat dengan proyeksi pertumbuhan negatif 0,4%, harga minyak dunia US$31/barel, nilai tukar rupiah Rp20.000 per dolar AS, dan inflasi 5,1%.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh 2,3%, bahkan dengan skenario terburuk bisa -0,4%. Ini berpotensi menekan sektor keuangan, sehingga transmisi masalah sosial, ekonomi dan ancaman stabilitas keuangan menjadi sangat nyata.

Ani menjelaskan, kebijakan paket stimulus I untuk pariwisata sebesar Rp10,3 triliun dan paket stimulus II berupa relaksasi pajak sebesar Rp22,9 triliun masih belum cukup melawan dampak buruk akibat coronavirus.

Oleh karena itu, pada 31 Maret lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 yang memungkinkan langkah luar biasa (extraordinary) dalam menanggulangi dampak Covid-19. Beleid ini dilengkapi paket stimulus hingga Rp405,1 triliun.

Dana itu disiapkan untuk intervensi di bidang kesehatan Rp75 triliun, perluasan jaring pengaman sosial Rp110 triliun, dukungan industri Rp70,1 triliun, dan dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 Rp150 triliun.

Di tengah kebutuhan menambah belanja, kata Ani, penerimaan negara anjlok 10%. Ini terjadi karena penerimaan pajak lesu akibat ekonomi melemah. Belum lagi, adanya insentif pajak dan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang turun karena harga komoditas anjlok.

Dia memperkirakan, kondisi itu akan membuat defisit APBN 2020 bengkak hingga 5,07% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Padahal, dalam APBN 2020, defisit diproyeksi sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari PDB. Lonjakan defisit hingga 5%, melampaui batas maksimal defisit APBN sebesar 3% dari PDB sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Ani menjelaskan, Perppu tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

“Covid ini telah menciptakan kondisi yang luar biasa. Tidak hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia. Dengan kondisi extraordinary diperlukan penaganan dan pencegahan mitigasi sektor keuangan secara di luar kebiasaan,” tegasnya.

Dalam Pasal 2 Perppu termaktub aturan terkait pemakluman batasan defisit anggaran lebih dari 3% setelah pemerintah menambah dana penanganan Covid-19.

"Menetapkan batasan defisit anggaran dengan ketentuan sebagai berikut. Poin a, melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022.

Berbeda dari krisis sebelumnya

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menjelaskan, kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan krisis moneter pada 1997/1998 silam. Pada waktu itu, pelemahan daya beli dan nilai tukar rupiah sangat dalam.

Ia membandingkan pelemahan nilai tukar rupiah dari Rp14.000 menjadi Rp16.000 per dolar AS sepanjang 2020 dengan pelemahan nilai tukar rupiah dari Rp2.500 menjadi Rp17.000 per dolar AS pada periode 1997/1998.

“Tahun 1997 uang Rp 2.500 dapat apa? Mungkin dapat lima mangkuk bakso itu, satu mangkuk Rp500. Sekarang Rp14.000 satu mangkok bakso. Kalau dia melemah ke Rp20.000, masih satu mangkuk bakso juga.

Zaman dulu biaya pinjaman mahal sekali. Sudah bunganya tinggi, jatuh serempak dan valasnya (mata uang asing) enggak ada. Itu menyebabkan aktivitas ekonomi dipaksa berhenti. Kalau sekarang sukarela.

Penanggulangan wabah jadi kunci

Piter menambahkan, penanggulangan wabah Covid-19 adalah kunci bagi pemulihan ekonomi.

“Saya enggak bisa memperkirakannya. Yang bisa menjawab ahli kesehatan sebenarnya karena ekonomi baru recovery kalau wabah Covid-19 ini bisa ditanggulangi.

Ekonom Senior INDEF Dradjad Hari Wibowo mengatakan, satu-satunya cara untuk menyelamatkan ekonomi yang terdampak Covid-19 adalah dengan mencegah penyebaran virus. Dradjad juga mendorong pemerintah untuk memperbesar belanja di sektor kesehatan. Menurutnya, hal ini dapat mengompensasi dampak penurunan ekonomi di sektor industri, pariwisata, transportasi, dan sebagainya.

“Simulasinya begini, kalau kita belanja untuk memperkuat sektor rumah sakit dan puskesmas, itu akan ada tetesan belanja, peningkatan demand untuk alat-alat kesehatan, untuk mereka yang memproduksi alat-alat itu. Akan ada sectoral links yang kuat.

Demikianlah artikel saya hari ini mengenai pembahasan yaitu Serangan Pandemi Covid 19 Menguji daya tahan ekonomi RI , semoga bisa menjadi informasi bermanfaat dan menambah wawasan, sekian dan terimakasih.

 

Posting Komentar untuk "Serangan Pandemi Covid 19 Menguji daya tahan ekonomi RI"